Surabaya, Jawa Timur – Puluhan penghuni apartemen Bale Hinggil, yang berada di Jalan Ir. Soekarno, Surabaya, Rabu malam 16 April 2025 mendatangi SPKT Polda Jatim, untuk melaporkan dugaan pemerasan yang dilakukan oleh PT. TKS (Tata Kelola Sarana).
Kuasa hukum penghuni apartemen, Agung Pamardi, menjelaskan bahwa kedatangan penghuni apartemen ini untuk melaporkan dugaan pemerasan, setelah beberapa mediasi yang dilakukan tidak mencapai titik temu.
“Kita kesini karena terjadi dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh PT yang tidak kita kenal. Contohnya di dalam PPJB berhubungan dengan PT. Tlatah Gema Anugerah (TGA), jadi hubungan perdata dan terbatas pada pembayaran dan pelunasan.”
“Namun saat ini urusan tersebut dilimpahkan ke PT. TKS untuk mensomasi dan menagih, bahkan PBB juga diminta membayar meski belum dibayarkan ke Bapenda,” jelas Agung Pamardi.
Ditambahkan Agung, meski para penghuni sudah membayar iuran listrik dan air, tetapi sambungan masih diputus oleh PT. TKS, pihak yang tidak dikenal penghuni apartemen.
“Kita laporkan perbuatan melawan hukum karena sudah terjadi dugaan pemerasan yang masuk di Pasal 335, 336, 378 dan 372 KUHP,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Bale Hinggil Comunity, Kristianto, mengatakan bahwa total orang yang disomasi sebanyak 129 KK, dan hingga kini masih mengalami pemutusan air air dan listrik.
“Dan yang membuat kita geleng-geleng kepala justru PT tersebut menyuruh sejumlah orang untuk menjaga di gedung,” terang Kristianto.
Kristianto menerangkan, bahwa PT. TKS ini ditunjuk oleh developer PT. TGA untuk mengelola gedung. Tetapi di dalam PPJB pihaknya hanya melakukan perjanjian dengan developer bukan dengan PT. TKS.
“Mereka ini sangat berkuasa di apartemen Bale Hinggil sejak awal serah terima tahun 2019 hingga saat ini. Padahal di PPJB harusnya sudah berakhir tanggal 31 Desember 2024,” tutup dia.
Sementara itu, konflik antara penghuni apartemen dengan pengelola ini sebelumnya telah mendapat perhatian dari Pemkot Surabaya. Walikota dan Wakil Walikota sudah pernah melakukan sidak, hingga dibawa ke hearing Komisi C DPRD Surabaya, namun kesepakatan membuka akses dasar tidak dilakukan.



















